Oleh : Fajar Cahyanto, S.E.I. *
Dan
begitulah realitanya. Tidak ada satu bagian pun dari kehidupan kita kecuali ada
ujian di sana. Bahkan Allah pun menciptakan kehidupan untuk sebuah ujian. Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan. Begitu Dia memulai awal-awal rangkaian
firmannya dalam al-Mulk. Pada
bagian-bagian lain firman-Nya, berkali-kali kalimat yang bermakna ujian itu pun
muncul. Sebut misalnya liyabluwa
ba’dhakum bi ba’dhin, liyabluwakum fi ma atakum, dan masih banyak yang lain.
Mengapa
harus ada ujian? Barangkali itulah pertanyaan yang sesekali terbersit dalam
benak beberapa orang di antara kita. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban
sesungguhnya. Bagaimana tidak! Kenyataannya memang kita tidak bisa menilai
sesuatu tanpa ada ujian. Sebuah produk yang akan dilempar ke pasaran harus
melewati uji kualitas, sebuah obat atau makanan harus melewati uji
laboratorium, begitu seterusnya.
Wajarlah
kemudian jika manusia pun diuji dengan bermacam bentuk. Satu ayat pada surat al-Mumtahanah bahkan memerintahkan
orang-orang beriman untuk ngetes para
wanita yang berhijrah. Ya ayyuhal ladzina
amanu idza ja akumul mu’minatu muhajiratin famtahinuhun. Demikian bunyi
awal ayat 10 surat tersebut. Padahal, tanpa ada “ujian” pun, Allah juga sudah
sangat tahu kondisinya. Allahu a’lamu bi
imanihin. Begitu lanjutan ayatnya. Tetapi, rupanya Allah menghendaki ada
“ujian manusiawi” untuk membuktikannya.
Dalam
kehidupan dunia, ujian-ujian itu pun terjadi. Seorang guru akan memberikan
ujian kepada murid-muridnya untuk mengetahui sejauh mana para murid tersebut
menangkap pelajaran yang diberikan. Dalam dunia mafia, seorang bos tidak
segan-segan memberikan ujian kepada anak buahnya untuk mengetahui kesetiannya
dengan memerintahnya membunuh rekannya sendiri. Setidaknya itu yang sering kita
lihat dalam film-film action. Yang terdekat dengan kita, dalam konteks sistem pendidikan di negara kita, Ujian
Nasional (UN) barangkali adalah ujian bagi semua siswa, terutama yang duduk
pada tingkat akhir pada masing-masing jenjang pendidikan.
Bagaimanapun,
dalam kehidupan kita, akan banyak ujian kita temui. Siapapun yang menguji,
bagaimanapun bentuknya, apapun orientasinya, sebagai “peserta ujian” tidak ada
pilihan lain bagi kita kecuali berusaha semaksimal mungkin, sejujur mungkin
untuk lulus. Tidak hanya lulus, tetapi untuk menjadi yang terbaik. Wa likullin wijhatun huwa muwalliha,
fastabiqul khairat!
note : tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah Husnul Khotimah
Posting Komentar