Oleh
: Fajar C. Qoharuddien
Islam
agama yang menyeluruh mencakup semua aspek kehidupan (syamil mutakamil).
Tidak ada satu pun sendi kehidupan yang lepas dari perhatian Islam. Tak terkecuali
dalam hal ini adalah masalah ekonomi, yang dalam khazanah keilmuan Islam
merupakan salah satu kajian dalam fiqh, tepatnya fiqh muamalah. Kajian fiqh sendiri terbagi dalam dua
klasifikasi, yaitu fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa fiqh ibadah mengkaji hal-hal yang
menyangkut hablun minallah, adapun fiqh muamalah menyangkut hablun
minan nas. Kedua klasifikasi kajian fiqh tersebut memiliki kaidah
dasar yang berbeda.
Kaidah
dasar dalam kajian fiqh ibadah adalah al-ashlu fil íbadah at-tahrim,
illa ma dalla dalilun ‘alal amri bihi. Hukum asal ibadah adalah haram,
kecuali jika ada dalil yang memrintahkannya. Dengan kaidah ini, maka semua
bentuk ibadah –dalam hal ini adalah ibadah mahdhah yaitu ibadah yang
sudah ditentukan syarat dan ketentuannya seperti misalnya shalat– yang tidak berdasar dalil nash adalah
dilarang. Dalam istilah fiqh, ibadah yang tidak ada dalil yang
mensyariatkannya tersebut disebut sebagai bid’ah.
Adapun
kaidah dasar dalam kajian fiqh muamalah adalah al-ashlu fil mu’amalah
ibahah, illa ma dalla dalilun ‘ala tahrimihi. Hukum asal perbuatan dalam muamalah
adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Di antara bentuk muamalah
adalah aktivitas-aktivitas ekonomi, seperti jual beli, hutang piutang,
sewa, dan transaksi-transaksi lainnya. Bentuk muamalah yang lain adalah
hal-hal yang menyangkut politik, sosial, budaya, dan sejenisnya.
Dengan berpegang pada kaidah muamalah
sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya setiap muslim diberi
kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Melakukan aktivitas jual
beli di pasar, bekerja di kantor, berinvestasi di pasar saham, dan
aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya adalah mubah atau boleh, selama
tidak merupakan bentuk aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung
unsur-unsur yang dilarang. Dalam kajian Ekonomi Islam, hal-hal yang dilarang
dalam transaksi ekonomi biasa disingkat dengan istilah MAGHRIB, yang merupakan
singkatan dari maisir, gharar, riba, dan bathil.
Maisir
Maisir secara bahasa berasal
dari kata yasr yang artinya mudah. Secara istilah maisir berarti
memperoleh keuntungan dengan cara yang mudah tanpa harus bekerja keras. Dalam istilah
sehari-hari maisir dikenal sebagai judi, karena judi memungkinkan
seseorang untuk mendapatkan keuntungan tanpa kerja keras. Hukum judi ini haram
sebagaimana tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Judi sendiri dalam khazanah
keseharian kita merupakan salah satu dari ma lima (main, maling,
madon, madat, minum).
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : ‘Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya” [QS al-Baqarah : 219]
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” [QS
al-Maidah : 90]
Gharar
Gharar secara bahasa berarti
pertaruhan. Dalam aktivitas ekonomi, gharar mengandung makna
ketidakpastian atau spekulasi. Semua bentuk transaksi yang mengandung unsur
ketidakjelasan adalah dilarang dalam Islam. Contoh transaksi yang mengandung gharar
adalah jual beli ijon, misalnya membeli hasil pertanian sebelum pohon
atau tanamannya berbuah. Hal ini karena, tidak ada seorang pun yang menjamin
hasilnya di kemudian hari, apakah tanaman tersebut akan berbuah dengan kualitas
bagus, buruk, atau justru mati.
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan dialah
yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim, dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok.
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS
Luqman : 34]
Riba
Riba secara bahasa artinya
bertambah. Ada beberapa jenis riba menurut para ulama. Bentuk riba yang
paling sering kita temukan adalah riba dalam transaksi hutang piutang,
yaitu adanya tambahan yang harus dibayarkan oleh seseorang yang berhutang
ketika membayarnya. Riba jenis ini disebut riba qardh, yang dalam
kehidupan kita di antaranya berbentuk bunga hutang atau pinjaman. Jika pihak
yang berhutang terlambat membayar pada waktunya, maka ada denda atau bunga
berikutnya. Denda atau bunga karena keterlambatan ini termasuk jenis riba
jahiliah.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” [Al-Baqarah : 275]
Bathil
Bathil
artinya salah, kebalikan dari sah. Transaksi yang bathil,
artinya transaksi tersebut tidak sah atau mengandung unsur-unsur yang
menjadikannya tidak sah. Bathil-nya suatu transaksi bisa terjadi karena
akadnya, atau karena sesuatu yang ditransaksikan. Bathil pada akadnya
misalnya karena ada pemaksaan dari salah satu pihak kepada pihak lain sehingga
tidak ada saling kerelaan antara keduanya. Bathil karena suatu yang
ditransaksikan, misalnya pada jual beli barang curian.
Posting Komentar