Publikasi Terkini :

Blogroll

Konspirasi Setan


"Bu, Arina kerasukan lagi. Dari tadi dia nangis keras jerit-jerit." Suara Mbok Minah yang terdengar dari gagang telepon mengagetkan Ranti.

"Hah? Sejak kapan?" Tanya Ranti.

"Dari tadi, Bu. Sekitar setengah jam yang lalu. Aduh… saya bingung, Bu. Saya gak tahu harus gimana lagi. Setannya gak mau keluar keluar."

"Udah panggil Pak Risman?"

"Eri udah kerumahnya, Bu. Tapi Pak Risman lagi gak ada di rumah."

"Saya segera pulang, Mbok." Ranti menyudahi percakapan.

Setelah me-lock komputernya, Ranti segera berdiri dan merapikan tas. Semua pasang mata yang ada di ruangan itu mengarah padanya. Ranti merasa tidak enak. Sejak Arina anaknya sering kerasukan, Ranti sudah beberapa kali izin pulang atau izin keluar sebentar. Rumah Ranti memang dekat dari kantor. Tapi tetap saja ada waktu yang tersita untuk urusan pribadinya.

"Izin lagi, Ran?" Tanya atasannya yang posisinya berada di kubikel di depan Ranti duduk.

"Iya Pak. Arina kerasukan lagi. Saya sebentar saja kok."

"Laporan pelanggan yang…"

"Sembilan puluh persen selesai Pak. Kalau tidak selesai sore ini, saya bersedia lembur kok. Permisi, Pak!" Ranti memotong pertanyaan atasannya. Kemudian tanpa mempedulikan izin atasannya, atau apakah masih ada yang ingin disampaikan oleh atasannya, Ranti bergegas meninggalkan ruangan menuju lantai basemen, tempat mobilnya diparkir.

*****

Sebuah mobil sedan coklat keluaran tahun 2008 meraung memasuki halaman rumah yang terletak di barisan depan komplek Perumahan Cikolong Indah. Sejenak setelah mobil itu berhenti, sebuah wanita berumur 35-an keluar dari pintu kanan depan. "Sudah telpon Haji Busthoni, mbok?" Tanya Ranti, wanita tersebut pada seorang wanita paruh baya yang sedang mendorong pagar halaman rumah, menutupnya hingga rapat.

"Sudah Bu. Tapi Pak ustadz malah bilang gak sanggup."

"Aduh gimana ini ya?" Ranti cemas bukan kepalang. Sekalipun kejadian ini bukan sekali ini terjadi.

"Gimana Bu, apa panggil Pak Peter, tetangga samping rumah?"

Ranti menggaruk dagunya. Ragu.

"Pak Peter sudah dua kali bilang sama saya, kalo dia bisa bantu menyembuhkan Arina." Sambung Mbok Minah.

"Ya sudah. Dia ada di rumah?"

"Mudah-mudahan ada, Bu. Saya tengok dulu."

Kemudian Mbok Minah membuka kembali pagar rumah yang baru saja ditutupnya, berjalan beberapa langkah, dan sesaat kemudian terdengar pintu pagar rumah tetangga diketuk.

Ranti berjalan memasuki rumah. Di ruang tengah, ada Eri, kakaknya Arina sedang menemani Arina yang tengah berteriak. Muka dan mata Arina terlihat merah. Dia berbaring di lantai. Tangannya sebentar-sebentar mengepal lalu membuka lagi.

Sudah tiga orang yang dimintai tolong untuk mengobati Arina, tapi semuanya gagal. Saat pertama kali Arina kerasukan setelah pulang sekolah, Mbok Minah dengan inisiatif sendiri menghubungi Pak Risman, satpam kompleks yang rumahnya di balik tembok kompleks perumahan. Pak Risman orang yang ramah dan supel. Seluruh penghuni perumahan Cikolong Indah mengenal Pak Risman. Selain itu, Pak Risman pun dikenal taat beribadah.

Saat itu Pak Risman dengan sigap menghampiri Arina. Dia membacakan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang dihafalnya. Ada perlawanan sengit dari setan yang ada di dalam tubuh Arina. Tapi nampaknya setan itu lebih kuat. Bahkan rupanya ada lebih dari satu makhluk halus yang menggerayangi tubuh Arina. Pada akhirnya, setan-setan itu mau keluar setelah Ranti dan Mbok Minah terpaksa mengabuli permintaan mereka: memotong ayam hitam. Mbok Minah harus belanja ke pasar mencari ayam hitam untuk mengabulkan permintaan para setan.

Orang kedua adalah Pak Dadi, teman Pak Risman. Seorang satpam juga, tapi bertugas di kompleks perumahan lain. Pak Dadi diminta atas rekomendasi Pak Risman. Dua hari setelah kerasukan, Arina kembali dikerjai oleh setan. Ketika Mbok Minah meminta pertolongan Pak Risman, segera saja Pak Risman mengajak mbok Minah menemui Pak Dadi. Dan beberapa saat kemudian Pak Dadi yang lulusan pesantren di Sukabumi itu bertarung dengan sengit melawan para setan yang ada di tubuh Arina.

Berhasil. Saat itu setan-setan berhasil pergi. Dan Pak Dadi selanjutnya menjadi andalan keluarga Ibu Ranti untuk menghadapi setan-setan yang mengganggu Arina. Setiap kali Arina kerasukan, Pak Dadi dimintai pertolongan. Sampai-sampai salah satu setan yang masuk ketubuh Arina berkata, “Kamu orang yang alim, Dadi. Kamu orang yang jujur, hafal Al-Qur’an. Kami susah menang melawan kamu.”

Celakanya, setelah dipuji begitu, Pak Dadi dirasuki sifat sombong. Hingga akhirnya Pak Dadi tak pernah lagi bisa mengusir setan yang merasuki tubuh Arina. Para setan itu menjadi kebal dari bacaan Al-Qur’an Pak Dadi. Jalan keluarnya kalau sudah begitu adalah mengikuti permintaan para setan yang aneh-aneh.

Orang ketiga adalah Haji Busthomi. Beliau ‘orang pintar’. Dapat rekomendasi dari teman kantor ibu Rina. Tapi sayang, pertarungan perdana Haji Busthomi mengecewakan. Dia kalah telak. Tak mampu mengusir jin yang bersarang di tubuh Arina.

Hingga suatu hari Pak Peter menawarkan bantuannya pada mbok Minah. Pak Peter tahu ada masalah di rumah Ibu Ranti dari pembantunya, Teh Yanti. Curhatan Mbok Minah disampaikan oleh Teh Yanti kepada Pak Peter. Dan Pak Peter pun menawarkan jasanya mengobati Arina.

Mulanya tidak ditanggapi oleh ibu Ranti. Dia malu aibnya diketahui tetangga. Tapi pada akhirnya, hari ini terpaksa ibu Ranti meminta pertolongan pada Pak Peter.

*****

Pak Peter ada di rumah. Sesaat setelah berkunjung ke rumah tetangga, Mbok Minah mengawal Pak Peter memasuki rumah Ranti. Melihat Pak Peter, Ranti menyapa, “Aduh Pak, syukurlah bapak ada di rumah. Ini anak saya dari tadi gak sadar. Dia meraung-raung gak jelas.”

“Ya… ya… Bu.” Sahut Pak Peter.

“Kata Mbok Minah, Pak Peter bisa mengobati Arina?”

“Ya bisa Bu. Saya ada kenalan yang bisa mengobati Arina. Boleh pinjam teleponnya Bu, untuk menghubungi kenalan saya?”

“Ya silakan Pak.”

Pak Peter menggapai gagang telepon rumah yang terletak di atas sebuah meja yang ditempatkan berdempet dengan dinding rumah. Kemudian ia memencet beberapa nomor. Setelah tersambung, Pak Peter terdengar berbicara serius dengan seseorang di luar sana. Semenit kemudian Pak Peter menutup gagang telepon menyudahi pembicaraan.

“Kira-kira lima menit lagi teman saya datang, Bu. Ada tiga orang. Mereka dari…” Pak Peter menyebutkan sebuah tempat ibadah.

“Oh, iya Pak. Mudah-mudahan lancar perjalanannya.”

“Kita berdoa saja Bu.”

Pak Peter beragama berbeda dengan Ibu Ranti yang muslim. Pak Peter pun dikenal orang yang taat dengan agamanya. Rutin ia mengunjungi tempat ibadah.

Setelah lima menit lebih berlalu, datanglah tiga orang teman Pak Peter berpenampilan seperti pemuka agama. Pak Peter menghampiri mereka dan kemudian terlibat perbincangan. Lalu ketiga orang itu bersama Pak Peter menghampiri Arina yang tergeletak. Mereka menempelkan tangannya di atas perut Arina, dan serempak berkata, “Atas perlindungan Tuhan, wahai roh yang tidak berhak ada dalam tubuh ini, keluarlah!!!”

Ajaib, Arina segera sadar. Sesaat lalu Arina masih bengong melihat keadaan sekelilingnya. Tubuh dan mukanya basah dibanjiri keringat. Mbok Minah segera memberi minuman segelas air putih pada Arina.

*****

“Terima kasih, bapak-bapak atas bantuannya. Saya tidak menyangka, cepat sekali Arina sadar. Kalau tahu begitu, dari kemarin saya sudah mengontak bapak-bapak semua.” Ujar Ranti menemani Pak Peter dan kawan-kawannya yang hendak pamitan.

“Atas izin Tuhan, Bu. Sepertinya Arina belum sembuh betul. Setan-setan itu kemungkinan besar kembali. Tapi kalau itu terjadi lagi, lekas kontak kami ya.” Ujar salah seorang dari mereka.

“Baik Pak.” Ibu Ranti tersenyum.

“Baiklah, kami pamit dulu.”

“Ya Pak. Terima kasih banyak. Hati-hati di jalan.”

*****

Di tengah ruangan itu ada sebuah boneka jelangkung bertopi jerami berdiri dengan di tangannya diselipkan sebuah kapur. Mepet ke dinding di salah satu sisi ruangan, ada papan tulis berukuran satu kali setengah meter.

Boneka jelangkung itu pernah menjadi alat komunikasi. Tapi itu dulu. Kini sejak ada komputer dengan spesifikasi yang agak tinggi yang diparkir di salah satu sudut ruangan, boneka itu tak lagi terpakai. Komputer itu menggantikan peran boneka jelangkung.

Di depan layar komputer, ada Pak Peter yang sedang serius mengetik. Dia didampingi oleh tiga orang temannya yang baru saja menolong Arina dari kesurupan setan.

“Terima kasih mbah Narjo. Misi kita kali ini sukses.” Begitu yang terpampang di layar, hasil ketikan pak Peter.

Kemudian ajaib, ada tulisan muncul sendiri di layar monitor tanpa diketik oleh Pak Peter, atau pun salah seorang dari temannya. Dan komputer itu pun tidak terhubung dengan internet atau jaringan mana pun. Tulisan itu hadir sendiri. “Ya bagus. Akhirnya misi kita berhasil. Saya sempat takut si Ranti menghubungi lagi si Dadi. Kekuatan Dadi sudah pulih. Dia tak lagi terlihat keras kepala. Bahaya kalau dia yang melawan kita, bisa-bisa kita para setan terbakar lagi.”

“Ya Mbah Narjo, saya berhasil meyakini Mbok Minah.” Ketik Pak Peter. “Masih ada beberapa tahap lagi, Mbah. Ingat, misi kita adalah mengubah agama keluarga Ibu Ranti mengikuti agama kita.”

“Siap! Dua hari lagi saya akan menyerang Arina kembali. Kawan-kawan siap?” Sebuah tulisan secara ghaib muncul.

“Siap Mbah.”


Blog Masih Dalam Penyempurnaan


          Jika anda membaca blog ini, kemudian menemukan banyak hal yang “aneh”, sementara ini mohon permakluman para pembaca sekalian. Blog ini masih dalam proses “pembangunan”. Masih bongkar pasang di sana sini, tempel sana sini, dan seterusnya. Karena pemilik blognya pun masih belajar nge-blog ceritanya. Jadi, jika ada masukan-masukan utuk penyempurnaan, bahkan sangat diharapkan. Silakan masukkan di komentar tulisan ini. Pemilik akun blog akan sangat berterima kasih.
            Semoga penyempurnaan akan segera beres.....:-)

“Ujian Lagi, Ujian Lagi!”


Oleh : Fajar Cahyanto, S.E.I. *


          Dan begitulah realitanya. Tidak ada satu bagian pun dari kehidupan kita kecuali ada ujian di sana. Bahkan Allah pun menciptakan kehidupan untuk sebuah ujian. Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan. Begitu Dia memulai awal-awal rangkaian firmannya dalam al-Mulk. Pada bagian-bagian lain firman-Nya, berkali-kali kalimat yang bermakna ujian itu pun muncul. Sebut misalnya liyabluwa ba’dhakum bi ba’dhin, liyabluwakum fi ma atakum, dan masih banyak yang lain.
          Mengapa harus ada ujian? Barangkali itulah pertanyaan yang sesekali terbersit dalam benak beberapa orang di antara kita. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban sesungguhnya. Bagaimana tidak! Kenyataannya memang kita tidak bisa menilai sesuatu tanpa ada ujian. Sebuah produk yang akan dilempar ke pasaran harus melewati uji kualitas, sebuah obat atau makanan harus melewati uji laboratorium, begitu seterusnya.
          Wajarlah kemudian jika manusia pun diuji dengan bermacam bentuk. Satu ayat pada surat al-Mumtahanah bahkan memerintahkan orang-orang beriman untuk ngetes para wanita yang berhijrah. Ya ayyuhal ladzina amanu idza ja akumul mu’minatu muhajiratin famtahinuhun. Demikian bunyi awal ayat 10 surat tersebut. Padahal, tanpa ada “ujian” pun, Allah juga sudah sangat tahu kondisinya. Allahu a’lamu bi imanihin. Begitu lanjutan ayatnya. Tetapi, rupanya Allah menghendaki ada “ujian manusiawi” untuk membuktikannya.
          Dalam kehidupan dunia, ujian-ujian itu pun terjadi. Seorang guru akan memberikan ujian kepada murid-muridnya untuk mengetahui sejauh mana para murid tersebut menangkap pelajaran yang diberikan. Dalam dunia mafia, seorang bos tidak segan-segan memberikan ujian kepada anak buahnya untuk mengetahui kesetiannya dengan memerintahnya membunuh rekannya sendiri. Setidaknya itu yang sering kita lihat dalam film-film action. Yang terdekat dengan kita, dalam konteks sistem pendidikan di negara kita, Ujian Nasional (UN) barangkali adalah ujian bagi semua siswa, terutama yang duduk pada tingkat akhir pada masing-masing jenjang pendidikan.
          Bagaimanapun, dalam kehidupan kita, akan banyak ujian kita temui. Siapapun yang menguji, bagaimanapun bentuknya, apapun orientasinya, sebagai “peserta ujian” tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali berusaha semaksimal mungkin, sejujur mungkin untuk lulus. Tidak hanya lulus, tetapi untuk menjadi yang terbaik. Wa likullin wijhatun huwa muwalliha, fastabiqul khairat!

note : tulisan ini pertama kali dipublikasikan di majalah Husnul Khotimah

Masjidil Aqsha : Prasasti Isra’ Mi’raj yang Kini Merana


Oleh : Fajar C. Qoharuddien


Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS. Al-Isra’ [17] : 1)

Sangat mustahil jika seorang muslim tidak faham kejadian Isra’ Mi’raj, setidaknya pasti pernah mendengar istilahnya. Di banyak tempat, kaum muslimin memperingati peristiwa tersebut, terutama dengan pengajian-pengajian. Adalah hal yang baik untuk mengkaji peristiwa tersebut untuk mengambil ibrah-nya. Yang paling banyak diangkat biasanya adalah tema seputar shalat. Tema ini sering diangkat untuk memperingatai peristiwa Isra’ Mi’raj, karena perintah shalat wajib lima waktu memang turun pada peristiwa Isra’ Mi’raj. Namun, tulisan ini tidak akan membahas tentang shalat, tetapi tentang salah satu saksi sejarah Isra’ Mi’raj yang mungkin banyak dilupakan : Masjidil Aqsha!

Kemuliaan Masjidil Aqsha
            Tidak bisa diragukan lagi kemuliaan Masjidil Aqsha. Bahkan, Nabi melarang kita untuk ngepenke ziarah atau melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yang salah satunya adalah Masjidil Aqsha.
“Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan jauh kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.”
(HR Bukhari dan Muslim)
            Salah satu hal yang menjadi motivasi berziarah ke Masjidil Aqsha adalah bahwa beribadah, khususnya shalat, di masjid tersebut bernilai pahala lebih. Hadist Nabi saw menyebutkan :
“Sekali shalat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 shalat. Sekali shalat di Masjidku (di Madinah) sama dengan 1000 shalat. Sekali shalat di Masjidil Aqhsa sama dengan 500 shalat.” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar)
Tentunya, kalau Nabi Muhammad saw menyetarakan Masjidil Aqsha dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebagai tempat yang harus dikunjungi, pasti ada banyak kemuliaan di sana. Selain menjadi salah satu tujuan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad, Masjidil Aqsha adalah kiblat pertama ummat Islam ketika melaksanakan shalat, sebelum kemudian turun perintah untuk memindahkan kiblat shalat ke arah Masjidil Haram pada tahun kedua Hijriah. Barulah setelah itu hingga sekarang, umat muslim melaksanakan shalat menghadap ke Masjidil Haram.
            Kemuliaan berikutnya dari Masjidil Aqsha adalah letaknya yang berada di Yerussalem yang merupakan kota suci para nabi. Terhitung beberapa Nabi diutus di kota ini, di antaranya Nabi Musa, Harun, Daud, Sulaiman, dan Isa ‘alaihimus salam. Karena sejarah para nabi itulah, kini Yerussalem menjadi kota suci yang menjadi rebutan tiga umat agama : Islam, Yahudi, dan Nashrani. Hal ini karena umat Yahudi meski telah melenceng dari ajaran Taurat yang asli dan umat Nashrani meski telah melenceng dari ajaran Injil yang asli, mengklaim kota ini sebagai kota suci mereka. Kondisi inilah, yang kemudian menjadikan nasib Masjidil Aqsha saat ini merana.

Kondisi Masjidil Aqsha Saat Ini
            Ada satu persepsi yang harus kita luruskan terkait masjid ini. Kita pasti sering melihat gambar sebuah bangunan dengan kubah emas besar, dan banyak yang menyebut bangunan tersebut sebagai Masjidil Aqsha. Persepsi ini sengaja dibangun oleh orang-orang Yahudi yang saat ini menguasai wilayah Yerussalem lewat gerakan zionisnya untuk mengaburkan pemahaman umat Islam. Jika kita mengenal bangunan kubah emas tersebut sebagai Masjidil Aqsha, maka sebenarnya itu adalah pemahaman yang salah. Bangunan berkubah emas tersebut adalah Qubbatus sakhra atau dalam Bahasa Inggris disebut Dome of The Rock. Bangunan tersebut adalah bangunan yang terdapat pada halaman kompleks Masjidil Aqsha, bukan bangunan utama Masjidil Aqsha itu sendiri.
            Kita coba buat perumpamaan begini. Ada sebuah masjid yang indah, kemudian di halaman kompleksnya ada sebuah taman dengan air mancur di sana. Jika sekelompok orang merusak bangunan masjid, tentu kita akan marah besar. Tapi jika yang dirusak adalah air mancur di taman kompleksnya, tentu kemarahan kita tidak sedahsyat jika yang dirusak adalah bangunan utamanya. Seperti itulah yang sedang dipropagandakan Yahudi. Mereka membuat kita salah persepsi dengan menyebut Qubbatus sakhra sebagai Masjidil Aqsha, dan dari berbagai gambar betapa gagahnya bangunan berkubah emas tersebut, kita simpulkan bahwa Masjidil Aqsha baik-baik saja.
            Faktanya, bangunan berkubah emas tersebut ibaratnya adalah air mancur di taman kompleks Masjidil Aqsha. Bangunan Tersebut dibuat pada zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan di zaman kekuasaan Bani Umayyah. Bangunan utama Masjidil Aqsha saat ini sungguh merana, tidak seperti Qubbatus Sakhra yang terlihat gagah.
            Yahudi mengklaim bahwa di kompleks Masjidil Aqsha, dahulu berdiri Haikal Sulaiman. Mereka pun menggali terowongan-terowongan di bawah Masjidil Aqsha dengan alasan untuk menemukan pondasi bangunan Haikal Sulaiman dan kemudian membangunnya kembali. Padahal, yang sedang mereka lakukan adalah upaya sistematis untuk membuat Masjidil Aqsha runtuh. Bayangkan saja, jika ada sebuah bangunan, kemudian di bawah permukaan tanahnya dilubang-lubangi, pastilah lambat laun bangunan itu akan runtuh dengan sendirinya. Dan begitulah rencana mereka terhadap Masjidil Aqsha. Dan pada saat Masjidil Aqsha runtuh, mereka sebarkan foto-foto bohong yang menyebut Masjidil Aqsha masih utuh berdiri. Padahal, foto-foto itu adalah Qubbatus Sakhra.
Begitulah makar besar Yahudi. Di bekas reruntuhan Masjidil Aqsha itu nantinya akan dibangun sinagog atau kuil Yahudi. Sedangkan di sini, kita mengatakan Masjidil Aqsha masih tetap berdiri gagah, padahal prasasti agung Isra’ Mi’raj itu telah musnah dari muka bumi ini. Na’udzu billah min dzalik!

Hal-hal Terlarang dalam Transaksi Ekonomi


Oleh : Fajar C. Qoharuddien



Islam agama yang menyeluruh mencakup semua aspek kehidupan (syamil mutakamil). Tidak ada satu pun sendi kehidupan yang lepas dari perhatian Islam. Tak terkecuali dalam hal ini adalah masalah ekonomi, yang dalam khazanah keilmuan Islam merupakan salah satu kajian dalam fiqh, tepatnya fiqh muamalah.  Kajian fiqh sendiri terbagi dalam dua klasifikasi, yaitu fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fiqh ibadah mengkaji hal-hal yang menyangkut hablun minallah, adapun fiqh muamalah menyangkut hablun minan nas. Kedua klasifikasi kajian fiqh tersebut memiliki kaidah dasar yang berbeda.

Kaidah dasar dalam kajian fiqh ibadah adalah al-ashlu fil íbadah at-tahrim, illa ma dalla dalilun ‘alal amri bihi. Hukum asal ibadah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang memrintahkannya. Dengan kaidah ini, maka semua bentuk ibadah –dalam hal ini adalah ibadah mahdhah yaitu ibadah yang sudah ditentukan syarat dan ketentuannya seperti misalnya shalat–  yang tidak berdasar dalil nash adalah dilarang. Dalam istilah fiqh, ibadah yang tidak ada dalil yang mensyariatkannya tersebut disebut sebagai bid’ah.

Adapun kaidah dasar dalam kajian fiqh muamalah adalah al-ashlu fil mu’amalah ibahah, illa ma dalla dalilun ‘ala tahrimihi. Hukum asal perbuatan dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Di antara bentuk muamalah adalah aktivitas-aktivitas ekonomi, seperti jual beli, hutang piutang, sewa, dan transaksi-transaksi lainnya. Bentuk muamalah yang lain adalah hal-hal yang menyangkut politik, sosial, budaya, dan sejenisnya.

            Dengan berpegang pada kaidah muamalah sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya setiap muslim diberi kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Melakukan aktivitas jual beli di pasar, bekerja di kantor, berinvestasi di pasar saham, dan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya adalah mubah atau boleh, selama tidak merupakan bentuk aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang. Dalam kajian Ekonomi Islam, hal-hal yang dilarang dalam transaksi ekonomi biasa disingkat dengan istilah MAGHRIB, yang merupakan singkatan dari maisir, gharar, riba, dan bathil.

Maisir
            Maisir secara bahasa berasal dari kata yasr yang artinya mudah. Secara istilah maisir berarti memperoleh keuntungan dengan cara yang mudah tanpa harus bekerja keras. Dalam istilah sehari-hari maisir dikenal sebagai judi, karena judi memungkinkan seseorang untuk mendapatkan keuntungan tanpa kerja keras. Hukum judi ini haram sebagaimana tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Judi sendiri dalam khazanah keseharian kita merupakan salah satu dari ma lima (main, maling, madon, madat, minum).

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” [QS al-Baqarah : 219]

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [QS al-Maidah : 90]

Gharar
            Gharar secara bahasa berarti pertaruhan. Dalam aktivitas ekonomi, gharar mengandung makna ketidakpastian atau spekulasi. Semua bentuk transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan adalah dilarang dalam Islam. Contoh transaksi yang mengandung gharar adalah jual beli ijon, misalnya membeli hasil pertanian sebelum pohon atau tanamannya berbuah. Hal ini karena, tidak ada seorang pun yang menjamin hasilnya di kemudian hari, apakah tanaman tersebut akan berbuah dengan kualitas bagus, buruk, atau justru mati.

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim, dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS Luqman : 34]

Riba
            Riba secara bahasa artinya bertambah. Ada beberapa jenis riba menurut para ulama. Bentuk riba yang paling sering kita temukan adalah riba dalam transaksi hutang piutang, yaitu adanya tambahan yang harus dibayarkan oleh seseorang yang berhutang ketika membayarnya. Riba jenis ini disebut riba qardh, yang dalam kehidupan kita di antaranya berbentuk bunga hutang atau pinjaman. Jika pihak yang berhutang terlambat membayar pada waktunya, maka ada denda atau bunga berikutnya. Denda atau bunga karena keterlambatan ini termasuk jenis riba jahiliah.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah : 275]

Bathil
            Bathil artinya salah, kebalikan dari sah. Transaksi yang bathil, artinya transaksi tersebut tidak sah atau mengandung unsur-unsur yang menjadikannya tidak sah. Bathil-nya suatu transaksi bisa terjadi karena akadnya, atau karena sesuatu yang ditransaksikan. Bathil pada akadnya misalnya karena ada pemaksaan dari salah satu pihak kepada pihak lain sehingga tidak ada saling kerelaan antara keduanya. Bathil karena suatu yang ditransaksikan, misalnya pada jual beli barang curian. 

DAN PAKAIAN TAQWA, ITULAH YANG TERBAIK


Oleh : Fajar C. Qoharuddien


Dadatira dadatira
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
(Potongan Syair “Ilir-ilir”)

            Ajining raga gumantung ana ing busana. Harga diri fisik seseorang, tergantung pada pakaian yang dikenakannya. Begitulah disebutkan dalam sebuah pepatah Jawa. Secara lahiriah, kita bisa menilai derajat seseorang dari pakaian yang dikenakannya. Ketika berjalan di tengah keramaian dan berpapasan dengan seseorang dengan setelan pakaian perlente, secara otomatis penilaian kita akan mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang terpandang. Sebaliknya, ketika bertemu dengan seseorang dengan pakaian compang-camping di pinggir jalan, penilaian kita akan mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang “pinggiran”.
            Seorang raja, bisa saja kehilangan wibawa ketika ia melepaskan pakaian kebesarannya. Bisa jadi, orang yang melihatnya tidak akan mengenalnya sebagai raja. Sebaliknya, seorang yang sebenarnya secara sosial adalah orang yang biasa-biasa saja, bisa jadi akan dianggap “orang besar” ketika ia mengenakan setelan pakaian perlente. Begitulah pakaian menentukan nilai atau harga diri seseorang. Begitu pula terkadang pakaian bisa menipu pandangan mata manusia, sehingga salah dalam menilai harga diri seseorang.
            Begitulah memang nilai pakaian dalam pandangan lahiriah duniawiah. Namun, hakikat pakaian seorang muslim sebenarnya terletak pada hati dan jiwanya. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan bahwa Allah tidak pernah melihat kepada bentuk fisik dan pakaian seseorang, tetapi Allah melihat kepada hatinya. Jika hati seseorang bersih dan penuh dengan nilai-nilai taqwa, maka manusia itulah sebenar-benarnya manusia dengan harga diri yang tinggi di hadapan-Nya. Secara tegas dalam hal ini, Allah swt berfirman :
“Wahai anak keturunan Adam, sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu, serta sebagai perhiasan bagimu. Dan pakaian taqwa, itulah yang terbaik.” (QS. Al-A’raf [7]: 26)
            Maka marilah kita periksa pada hati dan jiwa kita masing-masing, bagaimanakah kondisi pakaian taqwa kita. Apakah kondisinya baik dan bisa menjadi jaminan bagi diri kita untuk mendapatkan harga diri di hadapan Allah ataukah justru sebaliknya? Tentu kita semua berharap bahwa pakaian taqwa kita dalam kondisi yang baik dan selalu terjaga.
            Lalu bagaimana ketika ternyata pakaian taqwa kita itu sudah mulai terlihat robek di beberapa sisi? Bagaimana jika pakaian itu sudah kumitir bedhah ing pinggir? Jika demikian yang terjadi, tentulah harga diri kita di hadapan Allah pun akan turun dengan sendirinya. Karena itu, sebagai seorang muslim yang taat tentunya kita harus segera menyadari dan segera memperbaiki diri. Bukan disebut manusia barangkali ketika kita selalu berada dalam hal-hal yang benar selama hidupnya. Pasti ada dalam riwayat perjalanan kehidupan kita di mana kita melakukan kesalahan-kesalahan yang merobek nilai pakaian taqwa kita. Setiap anak adam pastilah pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat. Begitulah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas ra.
             Allah swt telah mengatur siklus kehidupan ini sedemikian rupa, sehingga selalu ada momentum-momentum yang diatur oleh-Nya bagi hamba-hamba yang shalih untuk bermuhasabah, introspeksi diri. Di antara momentum itu adalah momentum pergantian tahun sebagaimana yang sedang kita lewati saat ini. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw 14 abad silam seharusnya bisa mengilhami diri kita untuk senantiasa berhijrah menuju hari esok yang semakin baik dan demikian seterusnya hingga akhir titik kehidupan kita.
            Kita tidak punya pilihan lain selain terus memperbaiki diri jika yang kita inginkan adalah harga diri yang tinggi di hadapan Allah. Maka, sebelum pakaian taqwa kita semakin sobek di beberapa sisi, mari kita dondomi, kita perbaiki sehingga ia kembali menjadi baik dan semakin baik. Semoga Allah swt senantiasa membimbing kita menuju jalan kebaikan dan taqwa. Mumpung padang rembulane. Mumpung jembar kalangane. Yo surako surak iyo...!!



Manggarai, 1 Muharram 1432 H

Sejarah Penetapan Kalender Hijriah*

Oleh : Fajar C. Qoharuddien **


           Peristiwa besar dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad saw itu terjadi 1433 tahun yang lalu. Kita dapat dengan mudah menghitungnya karena saat ini kita sedang memasuki tahun baru 1433. Peristiwa besar itu adalah hijrah, di mana Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan untuk memindahkan basis gerakan dakwahnya dari Makkah menuju Madinah, yang kala itu masih bernama Yatsrib.
Bersandar pada peristiwa hijrah tersebut, maka muncullah sistem kalender hijriah. Dalam teks bahasa Arab, kata hijriah sendiri berasal dari kata hijrah dengan penambahan huruh ya’ dan ta’ marbuthah di akhir kata. Penambahan dua huruf tersebut di akhir sebuah kata dalam bahasa Arab mengandung makna penyandaran sesuatu terhadap kata tersebut. Dalam hal ini, sistem kalender hijriah adalah sistem kalender yang disandarkan perhitungannya berdasarkan peristiwa hijrah, yaitu dengan menetapkan tahun 1 Hijriah dihitung dari tahun di mana peristiwa hijrah itu sendiri terjadi.
            Dengan pola pembentukan kata yang sama dengan kata hijriah, sistem kalender hijriah kita kenal juga dengan nama sistem kalender qamariah. Artinya sistem kalender ini bersandar pada qamar, yang dalam bahasa Arab berarti bulan. Kita semua mengetahui bahwa kalender hijriah menyandarkan perhitungannya pada pergerakan bulan mengelilingi bumi, atau yang dalam bahasa astronominya disebut sebagai revolusi bulan.
            Sistem kalender lain yang juga kita kenal adalah sistem kalender masihiah atau masehi. Disebut demikian, karena sistem kalender ini menyandarkan perhitungan tahun 1 Masihiah pada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih as. Jika anggapan perhitungan tersebut benar, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Nabi Isa Al-Masih ibnu Maryam as lahir 2011 tahun yang lalu.
Sistem kalender masihiah ini kita kenal juga dengan nama kalender syamsiah, yaitu sistem kalender yang menyandarkan perhitungannya pada syams, yang dalam bahasa Arab berarti matahari. Kita semua mengetahui bahwa kalender masihiah menyandarkan perhitungannya pada pergerakan bumi mengelilingi matahari.

Awal Penetapan Kalender Hijriah
            Meski penetapan tahun 1 Hijriah adalah tahun di mana Nabi Muhammad saw hijrah, namun pada pada zaman Nabi Muhammad istilah tahun hijriah justru belum dikenal. Sistem kalender Arab pada masa itu belum mengenal penggunaan angka untuk menyebut bilangan tahun. Masyarakat Arab hanya menggunakan hari, tanggal, dan bulan untuk menunjuk suatu hari tertentu. Adapun untuk menunjuk tahun, mereka mengacu pada peristiwa-peristiwa yang besar dan terkenal. Maka kita kenal misalnya, Nabi Muhammad saw lahir pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Penyebutan tahun Gajah tersebut mengacu pada kejadian penyerangan Ka’bah oleh tentara Abrahah yang menunggang gajah, yang terjadi pada tahun yang sama.
            Hingga Nabi Muhammad saw wafat, sistem kalender yang digunakan masih menggunakan pola yang sama. Nabi dan para sahabat menggunakan hari, tanggal, dan bulan yang sudah berlaku di Arab yang mengacu pada perputaran bulan, dan menujuk tahun dengan suatu peristiwa. Sebagai contoh, tahun pertama hijrah disebut tahun izin karena pada tahun itu Nabi diizinkan untuk hijrah, dan tahun kesepuluh hijrah disebut tahun wada’ (perpisahan) karena pada tahun tersebut Nabi melaksanakan Haji Wada’.
            Pada masa Khalifah Umar bin Khathab ra, di mana wilayah Islam semakin luas, mulailah timbul masalah. Abu Musa Al-Asy’ari ra, Gubernur Kuffah waktu itu, menulis surat kepada Khalifah Umar bahwa surat-surat yang datang ke Kuffah dari Madinah tidak tercantum tanggal sehingga membuat bingung. Misalnya ada surat yang memberi suatu perintah untuk dilaksanakan bulan Sya’ban, namun karena tidak tercantum angka tahunnya timbul kebingungan apakah perintah itu harus dilaksanakan pada Sya’ban tahun ini atau Sya’ban tahun depan. Khalifah Umar pun lalu mengumpulkan para sahabat utama untuk bermusyawarah mengenai hal ini.
            Berbagai usulan muncul pada musyawarah tersebut. Ada sahabat yang mengusulkan tahun 1 dihitung dari tahun kelahiran Nabi Muhammad, tahun diangkatnya Muhammad menjadi Nabi, tahun wafat beliau, dan sebagainya. Akhirnya musyawarah menyepakati usulan Ali bin abi Thalib ra yaitu tahun 1 dihitung dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah, dengan alasan bahwa peristiwa hijrah adalah peristiwa terpisahnya bumi syirik (Makkah) dan bumi mukmin (Madinah). Adapun untuk menetapkan bulan pertama dalam setiap tahunnya, usulan yang disepakati adalah usulan Ustman bin Affan ra yaitu bulan Muharram karena pada bulan itu kaum Muslimin baru saja selesai melaksanakan haji dan bahwa bulan tersebut adalah salah satu bulan haram.
            Sejak masa Khalifah Umar bin Khathab ra tersebut sistem kalender hijriah digunakan, dan menjadi sistem kalender Islam hingga hari ini. Tahun di mana kalender hijriah sendiri ditetapkan adalah tahun 17 Hijriah, di mana waktu itu Umar memerintah pada tahun kelima dari 10 tahun masa kekhalifahannya. Tahun tersebut bertepatan dengan tahun 640 Masehi.
            Satu hal yang perlu kita fahami, meskipun tanggal 1 Muharram adalah tanggal tahun baru pada kalender hijriah, bukan berarti bahwa peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw terjadi pada tanggal 1 Muharram. Peristiwa hijrah terjadi pada tahun 1 Hijriah, tapi tepatnya adalah pada bulan Shafar hingga Rabi’ul Awwal. Beliau berangkat meninggalkan Makkah pada akhir bulan Shafar, keluar dari Gua Tsur pada 2 Rabi’ul Awwal, sampai di gerbang Madinah 8 Rabi’ul Awwal, dan baru masuk Madinah pada 12 Rabi’ul Awwal.


* Tulisan ini dimuat pertama kali di buletin IKADI Sragen, kemudian dishare di Facebook&blog
** Alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 

Blogger news

Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Fajar C. Qoharuddien - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger